Metrotvnews.com, Jakarta: Masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dikabarkan tengah diusulkan berlaku seumur hidup. Isu itu santer setelah Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSS-UI) mengajukan masa jabatan hakim MK tanpa periodisasi.
CSS UI melihat bahwa Undang-Undang (UU) Pasal 22 UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) bersifat diskriminatif dan berpotensi membatasi MK dalam penyelenggaraan peradilan. Dalam uji materi itu, pemohon meminta agar ada keseragaman antara masa jabatan hakim konstitusi dengan hakim agung.
Usulan CSS UI teregistrasi MK pada 16 September 2016 dengan nomor perkara 73/PUU-XIV/2016.Tak relevan
Perbincangan mengenai teknis pengabdian di lembaga tinggi negara pemegang kekuasaan kehakiman Indonesia ini mengundang banyak kontroversi.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) misalnya, secara tegas meminta MK menolak permohonan uji materi itu.
"(Jabatan seumur hidup) itu tidak relevan. Kerja konstitusi bukan beban pekerjaan personal hakim, melainkan beban kerja konstitusi," kata peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil kepada Metro TV, Minggu (27/11/2016).
Perludem menilai usulan penghapusan batas hakim konstitusi akan menimbulkan permasalahan baru di tubuh MK. Semakin lama menjabat bukan tidak mungkin timbul keinginan untuk melakukan hal-hal yang tidak ideal dan profesional.
Kritik serupa dilontarkan anggota Komisi III Fraksi NasDem Taufiqulhadi. Ia menganggap permohonan uji materi tersebut berlebihan. Terlebih, kualitas putusan MK masih banyak yang menuai kritik dari masyarakat.
"MA tidak ada yang seumur hidup, lembaga yang bernaung di bawah lembaga yudisial tidak ada yang seumur hidup, kenapa kemudian MK harus seumur hidup? Menurut saya tidak tepat," kata dia, seperti yang dikutip Media Indonesia, Selasa (29/11/2016).
Berbahaya dan cenderung diktator
Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia (TII), Dadang Trisasongko turut mengkritik usulan penghapusan priodeisasi masa jabatan hakim MK. Pola ini, kata dia, sangat berbahaya lantaran bisa membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan.
"Kecenderungan bisa diktator," kata Dadang saat ditemui Media Indonesia, di Jakarta, Selasa (29/11/2016).
Proses seleksi hakim konstitusi harus tetap dilakukan sebagai bagian dari kontrol pengawasan. Adanya batas waktu secara periodik itu merupakan kontrol kekuasaan bagi kehakiman.
Dadang mencontohkan kasus korupsi yang pernah menyeret mantan Ketua MK Akil Mochtar. Perkara itu terjadi akibat lemahnya pengawasan terhadap hakim konstitusi.
"Tetap harus dibatasi, baik usia maupun periodenya," kata dia.
Mengkhianati reformasi
Mantan Ketua MK Mahfud MD berharap lembaga yudikatif itu tidak benar-benar meloloskan usulan masa jabatan hakim konstitusi seumur hidup. Di samping akan menumbuhkan citra yang tidak baik bagi MK itu sendiri, usulan ini menurut Mahfud tidak memiliki alasan yang mendasar dan kuat.
Menurut Mahfud, salah satu argumentasi yang ia dengar tentang pengajuan usul penghapusan batas masa jabatan itu karena disamakan dengan hakim agung. Padahal, kata dia, tidak ada fakta di lapangan yang bisa membenarkan landasan tersebut.
"Asumsi dan contohnya sudah salah," kata Mahfud saat ditemui metrotvnews.com, di Jalan Dempo, Matraman, Jakarta Pusat, Rabu (30/11/2016).
Tidak ada satu pun negara yang menunjukkan pola serupa. Mahfud menyebut, masa jabatan hakim tak terbatas tidak pernah ditemukan di negara-negara maju, mulai dari Amerika Serikat (AS), Spanyol, Jerman, Turki, atau pun Korea.
Mahfud MD saat ditemui metrotvnews.com di di Jalan Dempo, Matraman, Jakarta Pusat, Rabu (30/11/2016)/Foto: Sobih AW Adnan
Mahfud secara terus terang menentang usulan itu. Alasan berikutnya, kata dia, jabatan seumur hidup dimaksudkan untuk menjamin independensi hakim konstitusi. Periodeisasi kerap beriringan dan dipengaruhi dengan kepentingan politik.
"Padahal, justru sebaliknya, bisa jadi nekat karena tidak ada yang bisa memberhentikan dia," kata Mahfud.
Pemberlakuan masa jabatan seumur hidup hakim konstitusi juga disebut Mahfud sebagai bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi. "Pesan reformasi, kekuasaan harus dibatasi ruang lingkup dan waktunya," kata Mahfud.
Bantahan
Usulan penghapusan periode masa jabatan hakim MK setidaknya melanggar etika peradilan. Dalam asas tersebut dinyatakan bahwa hakim tidak boleh memberikan keputusan pada hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan dirinya sendiri. Mahfud menyarankan urusan ini dirembukkan melalui lembaga legislatif alias DPR RI.
"Istilahnya Nemo iudex in causa sua," kata dia.
Direktur Penelitian dan Pengembangan (Litbang) CSS UI Dian Puji N Simatupang membantah keras tuduhan bahwa lembaganya meminta MK memutus masa jabatan hakim konstitusi berlaku seumur hidup. CSS UI cuma meminta agar periodeisasi hakim konstitusi dan masa jabatan pimpinan MK dihapus hingga masa pensiun tetap 70 tahun, selayaknya yang tertera dalam aturan masa jabatan hakim agung.
"Tidak benar. Tidak ada permohonan yang meminta hakim MK seumur hidup," Dian Puji N Simatupang saat dihubungi metrotvnews.com, Rabu (30/11/2016).
CSS UI menanyakan perbedaan karakter MK dan MA. Padahal, kata Dian, kedua lembaga itu sama-sama menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman.
"CSS UI tetap meminta agar prosedur sistem pengisian dan pemilihan hakim dan pimpinan MK tetap terbuka, transparan, dan akuntabel," kata dia.
Jabatan hakim konstitusi hendaknya tidak diangkat per lima tahun dan dipilih kembali. Pola itu akan lebih elok jika diganti dengan aturan main dipilih sampai usia pensiun, yakni 70 tahun. "Agar ada kesamaan di muka hukum," ujar Dian.
Aturan serupa juga sebenarnya tengah dimohonkan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Binsar M. Gultom bersama Hakim Tinggi Medan Lilik Mulyadi. Mereka memohon pengujian Pasal 6B ayat (2); Pasal 7 huruf a angka 4 dan 6; Pasal 7 huruf b angka 1 sampai angka 4 UU MA jo Pasal 4 ayat (3); dan Pasal 22 UU MK terkait periodeisasi masa jabatan hakim MK dan pimpinan MK.
Khusus Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 22 UU MK, pemohon meminta ada persamaan masa jabatan hakim konstitusi dan pimpinan MK dengan masa jabatan hakim agung dan pimpinan MA.
Kedua permohonan itu kini tengah menunggu putusan.
"Intinya, tidak ada usulan masa jabatan seumur hidup. Kabar itu tidak benar," ujar Dian.
(SBH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar