RIAUPOS.CO - PELAKSANAAN Ujian Nasional (UN) sepertinya tidak pernah ramah, kerap bikin gundah dan kini kembali heboh diperbincangkan. Publik belum sepenuhnya usai membicarakan kontroversi seputar moratorium UN, yang ternyata batal itu. Kini, topik bergeser ke arah rencana penerapan komputerisasi UN atau yang lebih dikenal dengan istilah ujian nasional berbasis komputer (UNBK).
Ya, di awal tahun ini Kemendikbud memutuskan bahwa UN di semua level (SMP, SMA, dan SMK) akan dilaksanakan dengan berbasis komputer secara penuh. Walau kemudian buru-buru diluruskan Mendikbud Muhadjir Effendy, bahwa tidak mungkin tahun ini dipaksakan UNBK berlaku di semua sekolah. Prioritasnya untuk tingkat SMA/SMK, dengan target 80 persen dan setara SMP 30 persen tahun ini.
Sejatinya, memang tidak sedikit keuntungan dengan penerapan sistem UNBK tersebut. Setidaknya, tidak ada lagi penggunaan kertas. Juga, tidak ada lagi proyek penggandaan naskah yang selama ini diduga menjadi ajang permainan oknum mulai dari Kemendikbud hingga percetakan.
Diyakini pula, penggunaan komputer dalam UN juga memungkinkan hasilnya lebih valid. Proses monitoring pun bakal lebih akurat yang pada gilirannya akan memudahkan pelaksanaan dan evaluasi UN. Segala celah potensi kecurangan dalam pengerjaan materi UN pun dapat diminimalisir. Sehingga, memungkinkan untuk kembali menempatkan UN ke posisi idealnya sebagai tolok ukur keberhasilan belajar-mengajar di sekolah.
Masalahnya, pelaksanaan UNBK tidak semudah yang dibayangkan. Sekolah terutama, masih banyak yang belum siap, terutama dalam hal kepemilikan komputer. Belum lagi masalah infrastruktur pendukung seperti ketersediaan aliran listrik serta server. Kendati sejumlah sekolah sudah memiliki komputer, jumlahnya tidak seimbang dengan total siswa yang akan menggunakannya secara serentak.
Padahal, idealnya, perbandingan jumlah komputer dengan siswa adalah 1:3. Artinya, satu komputer digunakan untuk tiga siswa. Kalau sekolah memiliki 300 siswa, sedikitnya harus ada 100 komputer. Jelas tidak akan banyak sekolah di Indonesia yang dapat memenuhi regulasi tersebut dan kondisi ini jelas akan menimbulkan permasalahan. Sebab catatan yang ada mengindikasikan, di antara 98 ribuan sekolah di Indonesia, hanya sekitar 12 ribu sekolah yang memenuhi syarat untuk melaksanakan UNBK. Akibatnya, ribuan siswa harus menumpang ke sekolah lain untuk mengikuti UN, yang menurut para psikolog, ini secara psikologis akan membebani siswa. Artinya, ini bukan masalah sepele.
Namun, apa pun keadaan dan tantangannya, misi menggelar UNBK di semua level sekolah jangan sampai kendur. Harapan kita, pemerintah serius meningkatkan standar sekolah, seperti tahun ini di mana Kemendikbud menganggarkan pengadaan 40 ribu unit komputer. Artinya, akan lebih banyak sekolah mampu melaksanakan UNBK sendiri, siswanya tak perlu menumpang di sekolah lain.
Memang, UN dengan segala pro-kontranya akan terus menjadi perbincangan publik. Banyak pihak terlibat dan berkepentingan di dalamnya, terutama siswa, orangtua dan guru. Bagaimana pun, kita tetap tak menginginkan segala kehebohan yang timbul setiap musim UN tidak justru menyebabkan siswa teraniaya. Di mana periode ujian yang mereka hadapi sebagai evaluasi bagi diri mereka, belum juga ramah. Belum membuat mereka tersenyum saat menghadapinya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar