HARIANACEH.co.id — Seseorang melempar kabar dari pesan siaran yang baru saja diterimanya. Dengan begitu menggebu, ia merasa bangga menyiarkan kembali informasi yang dianggapnya paling baru itu. Tanpa peduli sejauh mana kebenarannya, tanpa memeriksa seperti apa tahapan informasi itu disulap dalam bentuk berita.
Dari grup sebelah. Istilah itu mendadak akrab belakangan hari.
Persebaran informasi di jagat maya tak terkendali. Di dalamnya, bisa jadi ada kabar bohong (hoax) lahir dan hilir mudik. Dan tak dapat disangkal, pertautan kabar bohong itu berdampak hingga ke dunia nyata.
Koordinator Komunitas Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Septiaji Eko Nugroho mengatakan berita hoax yang berseliweran di dunia maya sebenarnya berpotensi mengganggu keamanan nasional. Bahkan, beberapa kali informasi palsu itu menjadi viral dan memicu keributan.
"Yang disayangkan, banyak yang berpendidikan tinggi ikut menyebarkan berita hoax," kata Septiaji di Cikini seperti dikutip MTVN, Jakarta Pusat, Kamis (1/12/2016).
Memilah sumber berita
Dalam sehari, Septiaji menghitung, paling tidak ada 30 aduan berita palsu yang diterima. Facebook dan Twitter menjadi penyedia platform media sosial yang kerap dijadikan sarana favorit penyebaran informasi.
Facebook merupakan jaringan media sosial terbesar di dunia dengan jumlah pengguna bulanan sekitar 1,7 miliar orang. Sementara Twitter punya pengguna harian sekitar 140 juta orang. Keduanya memainkan peran yang besar dalam penyebaran informasi, baik informasi benar maupun hoax.
"Perlu ada penindakan hukum, maupun dengan masyarakat kembali bermedia sosial dengan santun," kata dia.
Media sosial tidak bergerak dengan sendirinya. Kabar palsu itu lebih sering ditemui dari sumber-sumber berupa situs yang sekilas tampak mengemas dirinya sebagai portal berita resmi. Dari sumber itu, tautan berita dengan judul menghebohkan, bahkan terkesan provokatif mampu menarik minat para pengguna media sosial untuk menyebarkan ulang.
Pakar media sosial, Nukman Luthfie mengatakan, masyarakat pengguna media sosial mesti berhati-hati dalam merespon informasi di jagat maya. Dari sisi sumber, perlu diteliti apakah kabar itu berasal dari media pemberitaan kredibel atau abal-abal.
"Silakan cek dulu identitas medianya. Kalau ada kantor dan susunan redaksinya boleh disebar ulang. Kalau tidak ada, itu abal-abal. Jangan disebarkan," kata Nukman, Kamis (1/12/2016).
Sebab pentingnya merujuk pada media resmi dan kredibel, kata Nukman, karena setidaknya berita itu sudah melalui proses profesional dan terverifikasi. Jika salah pun, media itu akan bertanggung jawab lantaran bekerja di bawah pantauan Dewan Pers.
Ciri mudah berikutnya guna membedakan kredibilitas sumber berita adalah dengan menimbang gaya bahasa yang disajikan. Judul, kata Nukman, oleh media tidak bertanggung jawab kerap dikemas dalam bentuk bombastis. "Padahal ketika dibaca keseluruhan itu tidak terkait dengan isi," kata dia.
Meski sekadar mengunggah ulang, perkara ini sebaiknya tidak boleh dianggap sepele oleh netizen. Secara tak sadar, ia melanggar Pasal 28 Ayat 1 dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Secara jelas aturan itu mengatakan "Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp1 miliar".
Memantau utuh
Situs Socialmediatoday.com merilis data sebanyak 85 persen pengguna menjadikan Facebook dan Twitter sebagai sumber pertama di pagi hari. Maka pantas, jika kedua jejaring itu kian seksi sebagai saluran penyebaran berita, baik yang kredibel maupun hoax.
Di sisi lain, hal terbaru yang ditemukan dua bulan terakhir adalah maraknya berita-berita yang justru menyudutkan media-media pemberitaan resmi. Berita-berita itu secara gencar dan massif didistribusikan kepada khalayak. Informasi yang pada mulanya berupa kabar burung itu lama kelamaan diyakini kebenarannya oleh sebagian orang.
Imbasnya, seperti apa yang dialami Metro TV baik di dunia maya maupun nyata. Isu media pemberitaan resmi ini menyebarkan kabar bohong begitu cepat menyebar tanpa proses verifikasi lebih lanjut.
Pada peliputan Aksi Bela Islam jilid III, kru di lapangan pun mendapat intimidasi lantaran kuatnya anggapan yang bersumber dari media sosial tersebut.
Ketua Dewan Pers Bidang Pengaduandan Etika Imam Wahyudi mengatakan, masyarakat disajikan informasi tidak bersifat menyeluruh. Tudingan kebohongan itu perlu diimbangi dengan melihat laporan data yang ditayangkan.
"Secara substansi tidak ada kebohongan publik, kecuali kalau kita mendengarnya sepotong-sepotong, dan itu tidak bisa berlaku dalam siaran jurnalistik seperti ini," kata Imam, Minggu (4/12/2016).
Laporan yang dilakukan reporter Metro TV Rifai Pamone pada aksi damai 2 Desember misalnya, bila dilihat secara utuh, hal itu tampak bahwa data yang disajikan telah melalui konfirmasi narasumber dan verifikasi melalui tayangan udara.
Wartawan Senior Abdul Kohar mengatakan, seorang jurnalis mengemban tugas melakukan verifikasi yang sangat ketat dalam melaporkan informasi kepada masyarakat. Verifikasi data ini merupakan bentuk profesionalitas jurnalis.
"Di tengah era banjir informasi seperti sekarang ini, tugas jurnalis adalah disiplin verifikasi. Melakukan verifikasi yang sangat ketat," kata Kohar seperti dikutip MTVN, Minggu (4/12/2016).
Kohar menilai, pekerjaan jurnalistik yang dilakukan Rifai Pamone telah dilakukan secara profesional. Rifai melakukan konfirmasi data bahan laporannya sebelum disampaikan kepada masyarakat secara langsung.
"Rifai Pamone menyitir angka 50 ribu di titik itu, itu dari koordinator lapangan aksi. Artinya fungsi mengkonfirmasi menanyakan kepada narasumber sudah dilakukan," ucap Kohar.
Bahkan, kata Kohar, tak sekadar konfirmasi, verifikasi data pun dilakukan pula oleh tim Merto TV. Tayangan gambar dari udara menggunakan drone dilakukan untuk menunjukan suasana massa yang telah berada di sekitar kawasan Gedung Sapta Pesona.
Membangun wawasan media
Media sosial memberikan pola baru bagi masyarakat dalam menerima informasi. Media siber, sebagai sesuatu yang klop dalam dunia itu dianggap lebih praktis dan menghadirkan tradisi tersendiri. Yakni singkat, cepat, dan praktis.
Pakar komunikasi Universitas Hasanddin Makassar, Syamsuddin Aziz mengatakan, fenomena persebaran informasi yang tengah terjadi di dunia maya hari ini adalah satu babak yang tidak bisa tidak mesti dilewati. Kesimpang-siuran dalam merespon berita tanpa menilik kualitas produksinya merupakan satu tahapan yang kedepannya terus berproses lebih baik.
"Tapi, saya harap ini tidak berlangsung terlalu lama," kata Syamsuddin, Selasa (6/12/2016).
Tidak semua pengguna hanya berlangsung di media sosial. Menurut Syamsuddin, persebaran berita hoax menjadi begitu signifikan bukan lantaran kemasan judul atau konten yang provokatif, tapi juga ada dukungan yang saling menghubungkan berupa jaringan atau grup komunikasi.
"Mereka lebih percaya merespon kiriman dari grup. Tidak langsung dari sumber utama," kata dia.
Di sisi lain, para anggota grup, sebut saja Whatsapp, hanya latah menyalin dan mengunggahnya kembali. Proses cek ulang pun kembali dilewati.
Ada yang bisa diupayakan pemerintah agar masyarakat Indonesia terbebas dari hasutan yang bersumber berita bohong. Menurut Syamsuddin, antisipasi jangka panjang bisa disiapkan pemerintah dengan memasukkan kurikulum wawasan media kepada pelajar di sekolah.
"Bisa dimulai kepada pelajar menengah. Suguhi mereka wawasan tentang kemediaan. Masyarakat perlu tahu tentang bagaimana cara membaca produk jurnalistik," ujar Syamsuddin.
Tugas itu, kata dia, bukan hanya milik pemerintah. Media-media resmi dan kredibel juga mesti turut mendorong memberikan pencerahan. Selain itu, berikan juga hak bagi masyarakat untuk memahami ideologi masing-masing media secara gamblang.[]
loading...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar